UNCLOS Hukum Laut Yang Diratifikasi Sekaligus Dilanggar China

UNCLOS Hukum Laut Yang Diratifikasi Sekaligus Dilanggar China – Kisah adu gertak antara TNI angkatan laut dengan Coast Guard China di perairan Natuna baru-baru ini menegaskan suatu cerita, atau lebih tepatnya pertanyaan, apakah hukum internasional benar-benar diterapkan? Dalam hal ini apakah hukum di laut yang telah diratifikasi puluhan dunia yang termasuk dalam United Nations Convention on the Law of the Sea [UNCLOS], telah fungsional? Banyak yang minta dicerahkan, mengapa China sebagai salah satu negara yang meratifikasi UNCLOS malah melanggar prinsip-prinsip dasar UNCLOS dengan suatu alasan tidak masuk akal seperti “Wilayah memancing tradisional”.

Kata tradisional yang sangat ekslusif sendiri sudah melanggar apa yang namanya hasil kesepakatan atau convention. Kata “tradisi” adalah lawan dari kata “convention”. Ambil contoh, setiap orang misalnya punya tradisi makan sambil bernyanyi, tetapi di meja makan di mana terdapat 9 orang yang sedang makan sama-sama, mereka tentu akan buat kesepakatan agar orang tidak menyanyi selagi makan. Nah, China melanggar kesepakatan itu.

Anehnya, mereka merasa sedang tidak melanggar? Mengapa demikian? Ternyata secara verbal tidak ada aturan yang melarang suatu pihak memiliki area mancing tradisional, walau sama-sama sepakat tentang adanya garis batas kedaulatan Zona Ekonomi Ekslusif 200 mil laut. Jadi tim perunding China sewaktu UNCLOS dibuat memang memanfaatkan celah ini. Karena UNCLOS tidak mungkin mengatur hal yang jauh dari umum, dan tidak ada yang menyangka ada istilah “area mancing tradisional” maka masalah itu tidak diatur lebih jauh.

Jadi siapa yang benar dalam masalah ini? Saat tribunal UNCLOS memenangkan klaim Philiphina, serta banyak negara lain tentang batas laut yang dilanggar kedaulatannya oleh armada maritim China, UNCLOS malah semakin tidak berdaya. China memanfaatkan kekuatan otot mereka untuk siap adu jotos mempertahankan klaim 9 garis putus-putus dalam celah UNCLOS sendiri yang tidak pernah mengatur ungkapan wilayah memancing tradisional. Mereka mengaku memiliki bukti klaim yang bisa diajukan dan seharusnya dimenangkan oleh UNCLOS, berupa peta pancing dari era Kekaisaran Manchuria.

Namun apa yang terjadi setelahnya? Tentu saja adu jotos. Beberapa negara tanpa ampun berani menembaki kapal nelayan China yang dianggap melanggar batas ZEE mereka. Di antaranya Korea Selatan dan Jepang. Kedua negara tersebut memang memiliki beking besar Amerika Serikat di belakangnya hingga berani menjawab provokasi dari armada China. Hukum laut kini menjadi hukum rimba laut, siapa yang kuat, termasuk kuat beking dia yang menang.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Rumit. Walau China mengakui wilayah Natuna, dan mereka hanya memancing di perairan Natuna terjauh, taruhlah ditepian Zona Ekonomi Ekslusif 200 mil laut Indonesia, yang lebih dekat dengan kepulauan Spartly, tetap saja ibarat orang menginjakkan sendalnya di atas karpet yang baru saja dicuci bersih. Beijing lalu terlibat adu mulut dengan Jakarta, keduanya tengah bulan madu ekonomi. Saling ribut yang akan berujung cerai akan merugikan ekonomi baik Indonesia dan China dalam skala massif.

Beijing menuding Jakarta terlalu paranoid dengan hanya sehamparan kecil wilayah terjauh dari Natuna. Tapi Jakarta menganggap bahwa melanggar ya melanggar saja, jangan cari alasan. Kelanjutannya, malah lebih jelas ada ketakutan di antara dua negara apabila masalah ini akan eskalatif dan berujung pada pemutusan hubungan diplomatik. Bagaimanapun, sejauh ini, pijakan China terbesar di Asia Tenggara adalah Indonesia. Kembali ke Beijing, apakah layak sepotong kecil perairan diinjak lalu merugikan semua kerjasama antara dua negara?

Exit mobile version