Hukum Laut Internasional, Saat Dunia Butuh Hukum Di Lautan

Hukum Laut Internasional, Saat Dunia Butuh Hukum Di Lautan – Berdasarkan sejarahnya, Hukum laut modern berasal dari hukum internasional awal, yang disusun Grotius, pengacara asal lBelanda yang juga dianggap sebagai bapak hukum internasional, sekaligus menyandang gelar bapak hukum laut Internasional. Karya terbesar Grotiius pada subjek, hukum laut termaktub dalam “Mare Liberum” yang punya arti “Laut Yang Bebas”, diterbitkan pada 1609. Karyanya itu menetapkan beberapa konsep utama dalam bidang hukum laut. Dia mengartikulasikan prinsip kebebasan melaut, bahwa laut harus bebas dan terbuka untuk digunakan oleh semua negara tanpa terkecuali.

Lautan memang telah lama diharapkan membawa subjek doktrin “kebebasan lautan” – sebuah prinsip yang digali di abad ke-17, untuk menggantikan doktrin lama di mana ada negara yang merasa berkuasa atas semua lautan, lalu memerangi kapal-kapal yang lebih lemah. Jadi, dengan adanya hukum ini, pada dasarnya lebih membatasi hak-hak nasional termasuk yurisdiksi atas keseluruhan lautan menjadi sekedar wilayah sabuk yang lebih sempit, yang mengelilingi garis pantai suatu negara.

Sisa lautan dinyatakan di luar sabuk garis pantai itu, bebas untuk semua dan bukan milik siapa pun. Sehingga dikenal istilah lain untuk menyebut lautan bebas itu sebagai, Laut Internasional. Hukum Grotius ini berlaku hingga abad kedua puluh, lalu pada pertengahan abad ke 20, ada dorongan untuk memperluas wilayah sabuk lepas pantai dari klaim masing-masing negara, demi menghindari persaingan wilayah memancing untuk para nelayan.

Maka dibuatlah konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1958 yang kemudian melahirkan United Nations Convention on the Law of the Sea [UNCLOS]. Melalui UNCLOS ada upaya merumuskan dalam definisi hukum yang disepakati tentang landas kontinen laut, serta mengadopsi sebagaimana pasal 1 Konvensi tentang Landas Kontinen:

“Untuk keperluan artikel-artikel ini, istilah ‘landas kontinen’ digunakan sebagai merujuk ke dasar laut dan lapisan tanah di bawah permukaan laut yang berdekatan dengan pantai tetapi di luar area laut teritorial, hingga kedalaman 200 meter atau, di luar batas itu, di mana kedalaman perairan superjacent, eksploitasi sumber daya alam dari wilayah tersebut diakui; … “

Definisi didasar kriteria kedekatan dengan pantai dan “eksploitasi”, itu segera mengundang polemik mengingat sifatnya yang terlalu lebar dan terbuka. Pada akhir 1960-an, eksplorasi minyak bergerak semakin jauh dari daratan, dan semakin dalam ke dasar margin benua. Kemudian tidak seperti era sebelumnya, lautan lebih dieksploitasi.

Akhirnya sekian banyak negara sementara sepakat dengan tafsiran yang ada. Lalu berlangsung aktivitas eksploitasi laut yang berjalan lancar di seluruh dunia. Misal, tambang Timah telah muncul di perairan dangkal di Thailand dan Indonesia atau Afrika Selatan yang menyadap berlian di perairan Namibia.

Pada sisi lain, kapal penangkap ikan besar sekarang mampu menjauh dari pelabuhan selama berbulan-bulan, mereka bisa menangkap ikan di mana saja, pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Yang diuntungkan tentu saja Negara-Negara Pesisir jarak Zona Ekonomi Ekslusif 200 mil laut itu merupakan berkah tersendiri, di mana seolah mereka menguasai benua lain. Indonesia termasuk yang paling menikmati ZEE tersebut, karena memiliki garis pantau yang melingkar seperti benteng lautan.

Hanya saja, negara pemilik pantai harus bijak, dan jangan sampai terjadi persaingan antara negara adikuasa laut yang menyebar ke lautan, membuat polusi yang meracuni lautan sebebasnya karena adanya klaim hukum tersebut. Negara yang tidak punya pantai, bagaimanapun terimbas jika lautan menjadi rusak. Penerapan hukum laut harus bijak.